Rabu, 30 Juni 2010

Menjauh darimu bukanlah kemauan diriku

By : chairil musa bani

“Dari Ahmad bin Taimiyah,
Untuk Ibunda yang berbahagia,
semoga Allah menjadikan indah
pandangan mata ibu melihat karunia Allah…”

begitulah ibnu Taimiyah mengawali surat yang ia sampaikan kepada ibundannya tercinta. Dan bukan sekedar hendak menjelaskan tentang alasan kepergiannya untuk mengajarkan ilmu, tapi dalam surat yang terdiri lebih dari tiga ratus kata itu, secara khusus ia juga menyampaikan kerinduannya,

“…. Sekiranya ada burung yang bisa membawa,
Niscaya aku akan terbang menemui engkau.
Tetapi orang-orang yang pergi,
 bersama dirinya pula melekat permintaan maafnya….”

Saudaraku,
Walaupun ibnu taimiyah seorang ulama besar, tapi kita yakin bahwa keilmuannya bukanlah satu-satunya guru yang mengajar kan arti cinta dan rindunya kepada sang ibu. Karena terkadang keilmuan tidak pernah mengajarkan kepada kita arti kerinduan. Tapi kebaikan ibu dan keindahan akan kenang-kenangan di masa lalulah yang telah mengajarkan ibnu Taimiyah akan arti kerinduan itu. Karena tabiat perasaan hanya hendak merasakan sesuatu yang indah dari masa yang telah berlalu. Sehingga kalau kita sempat berfikir untuk kembali pada saat-saat indah di masa lalu, maka ketika itu, sesungguhnya kita tengah merindu. Ya, begitulah jalan rindu yang kita pahami, jalan rindu yang berawal dari sebuah prasasti kenangan di masa lalu.

Tapi apakah kita tau tentang jalan rindu ibu terhadap kita anaknya? Sebuah jalan rindu yang berada diluar jalan rindu yang kita pahami. Jalan rindu yang tak mesti di dahului akan kebaikan dan keindahan di masa lalu. Tapi jalan rindu yang justru di dahului akan harapan baik dan indah di masa yang akan datang.

Seperti seuntai senyum bahagia seorang ibu kita dulu ketika mendengar kabar akan kehadiran kita yang telah bersemayam di dalam rahimnya. Ya, seuntai senyuman yang berangkat dari kerinduan akan harapan dan keyakinan bahwa hanya kitalah yang bisa membahagiakannya nanti. Sehingga wajar jika pada akhirnya semua pengorbanan ia kerahkan untuk keselamatan kita. Kalau sebelum mengandung ia boleh memakan apa saja yang ia sukai, maka ketika ia mengandung, ia akan rela jika ternyata ia harus memakan makannan yang mungkin sebenarnya ia tak menyukainya, hanya karena sebuah alasan, bahwa makanan yang dia makan adalah juga makanan yang terbaik buat kita yang di kandungnya. Karena dia telah merasakan kehadiran kita sebelum keberdaan kita, dan dia telah mencintai kita sebelum orang-orang mengenal kita.betapapun tidak, kalau sekiranya ketika itu kita meninggal (keguguran). pasti ibu, ayah dan semua keluarga kita akan menangis dan bersedih. Tapi apakah kita tau apa yang sebenarnya mereka tangisi?  bapak dan keluarga kita mungkin akan menangis karena khawatir akan keselamatan ibu, tapi ibu kita?hanya  Ia yang menagis dan bersedih karena meninggalnya kita, malaikat kecilnya. ia tidak lagi mempedulikan dirinya sebagaimana ayah dan keluarga mempedulikannya, ia hanya memikirkan kita, sosok makhluk yang dalam dugaannya akan bisa membahagiakannya, sosok makhluk yang dalam prasangkanya akan menjadi pelipur laranya dan penyejuk jiwanya.

Saudaraku,
Di antara harapan-harapan ibu kita, entah kita berada di mana? Adakah kita adalah sosok yang bisa membahagiakannya, ataukah kita termasuk sosok yang dalam prasangkanya akan menjadi pelipur laranya dan penyejuk jiwanya? Atau kita malah tidak ada di antara harapan-harapan dan parasangka-prasangkanya?atau bahkan kita malah telah membuatnya menangis sebelum kita mampu membuatnya tersenyum? Kita malah menjadi duka laranya sebelum kita menjadi pelipur laranya?

Tidakkah kita malu kepada Rasulullah saw, seorang makhluk yang tidak dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu dan perhatian seorang ayah. Tapi beliau mengerti bagaimana kita harus menjaga perasaannya dan menjadi penawar bagi kesedihannya. Sebagaimana nasihat yang pernah beliau sampaikan kepada salah seorang sahabat yang telah membuat kedua orang tuanya menangis karena kepergiannya untuk hijrah, “Kembalilah kepada keduanya, buatlah keduanya tersenyum, sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis”.

Saudaraku,
Kalaupun rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk kembali dari perjalanan mulianya (hijrah). Maka membahagiakan ibu dan ayah adalah semulia-mulianya perjalanan. Karena Rasulullah juga sadar, bahwa jalan cinta yang pernah mereka pernah tempuh, tidak akan pernah bisa terbalas dengan jalan cinta yang telah dan akan kita persembahkan, sekuat apapun kita mengusahakannya dan sebesar apapun kita mempersembahkannya. Sehingga wajar dalam bahasa keputus asaannya Rasulullah-pun mengajarkan kepada kita sebait doa untuk mereka,
“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah serta ibuku, kasihanilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil”.

Saudaraku,
Sekiranya waktu dan takdir harus memisahkan antara kita dengan ibu kita, akankah kita masih merindukannya? Masihkan kita mendoakannya? Akankah kita berkata sebagaimana ibnu taimiyah pernah menulis pada di antara bait-bait suratnya, “…Sungguh, menjauh darimu bukanlah kemauan diriku”.

Jumat, 25 Juni 2010

Ketika Allah melindungi kita

By : Chairil Musa Bani


“Paman, mengapa engkau mendo’akan banyak orang dan tidak mendoa’akan dirimu sendiri agar Allah memulihkan pandangan matamu”
Begitulah sebuah pertanyaan yang pernah di sampaikan seorang anak kecil yang bernama Abdullah bin Sa’id kepada salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang ketika itu banyak orang yang memohon agar di do’akan  karena do’anya dianggap lebih didengar oleh Allah swt. Sahabat   Rasulullah itu bernama, Sa’ad bin Abi Waqash.

Saudaraku,
Diamlah sebentar saja. Lalu, baca dan renungkanlah bunyi perkataan Sa’ad bin Abi Waqash, sahabat Rasulullah saw yang saat menjelang wafatnya meminta dikafani dengan pakaian perangnya saat perang badar itu,”Anakku, ketetapan Allah atas mataku, yang tidak melihat, itu lebih aku sukai daripada kembalinya penglihatanku”(Madaarij As-Salikin 2/227)

Saudaraku,
seperti itulah cara Allah melindungi hambanya dari segela kesedihan atas setiap takdir yang sebenarnya secara manusiawi kita pantas bersedih karenannya. Seperti pantasnya jika Sa’ad bi Abi Waqash bersedih karena kebutaan yang di deritanya. Tapi ternyata apa? Ternyata kebahagian bagi seorang Sa’ad bin Abi Waqash adalah justru pada kebutaan yang Allah tetapkan padanya.
Ya, itu semua terjadi karena perlindungan Allah yang diberikan kepada Sa’ad bin Abi Waqash dengan cara menanamkan perasaan ridha atas setiap takdir-Nya.

 Begitulah perlindungan Allah, ia sangat kuat dan mengikat. Sekuat apapun orang berniat untuk menghancurkan kekuatan orang yang telah beri perlindungan Allah, maka ia tidak akan perna mampu menghancurkannya. Dan sepahit apapun kenyataan hidup yang menyapanya, maka itu takan mampu membuatnya bersedih karena Allah telah melindunginya dengan kesabaran.

Dan ini bukan soal tentang kuatnya orang yang dilindungin-Nya. Tapi ini adalah soal kuatnya perlindungan-Nya. Sehingga janganlah aneh ketika kita mendengar berita tentang seseorang yang dengan berani mengakhiri hidupnya hanya karena sebuah alasan, asmara putihnya kandas di tengah jalan. Dan ini terjadi karena mereka berlindung pada sebuah kenyataan bahwa kebahagian hidup bagi mereka adalah ketika bisa hidup bersama kekasih yang dicintainya itu. Ya, mereka berlindung pada selain Allah
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”(QS.Al-Ankabut : 41)

Saudaraku,
Begitulah Allah mengumpamakan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, Mereka sangat lemah. Mereka bisa saja berlindung di balik istananya yang megah, tapi mereka tidak merasakan kebahagian karena takut kehilangan, mereka bisa saja berlindung di kursi jabatan yang tinggi, tapi hati mereka resah memikirkan bagaimana mana cara mempertahankan kursi jabatannya. Mereka bisa saja mengelabui kita, bahwa pelindung-pelindung mereka mampu membahagiakan mereka, padahal sebenarnya kebahagian mereka semu adanya.

Saudaraku,
Betapapun lemahnya sarang laba-laba, tapi entah kenapa Allah justru menjadikannya pelindung bagi Nabi-Nya dan salah seorang sahabatnya (Abu Bakar) di sebuah gua dalam perjalanan hijrahnya. Kenapa Allah tidak mengutus malaikat untuk melindunginya, Allah tidak meminta gunung untuk menjaganya, dan tidak memerintahkan halilintar untuk menyabar siapa saja yang mendekati nabi-Nya? Tapi justru hanya dengan sebuah sarang laba-laba. Padahal Allah sendiri pernah berfirman,“Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

Saudaraku,
Sarang laba-laba hanyalah sebuah atribut keduniawian, yang Allah jadikan perantara sebagai pelindung nabi-Nya di taman hijrah. Dan kekuatan bukahlah berasal dari sebuah sarang laba-laba yang telah melindungi nabi-Nya. Karena mudah saja bagi musuh menghancurkannya walaupun ketika itu ada seribu lapis sarang laba-laba yang melindunginya. Tapi kekuatan itu berasal daripada perlindungan Allah semata, terlebih ketika itu sang Nabi telah mencoba meyakinkan sahabatnya akan sebuah keyakinan bahwa mereka berada dalam lindungan-Nya dengan berkata, “jangalah kamu takut, dan janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”

saudaraku
apapun yang yang melekat pada diri kita saat ini adalah sekedar atribut keduniawian semata. Baik itu harta kita, jabatan kita dan keadaan kita. Sedikit apapun harta yang kita miliki saat ini, tetaplah minta perlindungan Allah dengan qona’ah. Karena cukup itu relative, tapi merasa cukup (qona’ah) hanya mengenal satu rasa, satu bahasa dan, satu makna. sesempit dan sepahit apapun kenyataan hidup yang tengah kita jalani, tetapah minta perlindungan Allah dengan bersabar dan berpasangka baik atas ketentuan-Nya. Karena hanya itulah yang bisa mengantarkan kita pada sebuah keadaan bahwa kita masih kuat dan tetap bisa bertahan. dan Serendah apapun jabatan dan status pekerjaan kita, tetaplah minta perlindungan Allah dengan niat yang baik karena-Nya. Karena walaupun kita hanya seorang tukang sapu, itu akan bernilai ibadah ketika kita memulai itu semua dengan niat baik karena-Nya.

Dan kalau sekira kita termasuk orang yang berhasil atas semua keadaan tersebut. Maka tetaplah kita berlindung kepada Allah dari kesombongan dan keangkuhan, sebagaimana Allah pernah mengajarkan nabi-Nya untuk berlindung dari kedua hal itu ketika pembebasan kota makkah.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”(QS. An-Nasr : 1-3)

Ya, dengan memuji dan memohon ampun kepada-Nya. Karena hanya dengan memuji kita berarti mengakui bahwa kita takkan pernah berhasil kecuali tanpa pertolongan dan perlindungan-Nya. Dan dengan beristigfar, itu bisa membersihkan kita dari kekhilafan hati yang mungkin sempat terbesit perasaan bangga dan berjasa atas keberhasilan yang telah tercapai.

Saudaraku,
Tahukah kita bagaimana keadaan Rasulullah ketika beliu tengah memasuki kota makkah pada saat peristiwa pembebasan kota Makkah itu? Beliu tertunduk ! beliau sadar bahwa tak ada yang pantas beliau sombongkan atas kebarhasilan yang telah Allah berikan, sesadar beliau atas perlindungan Allah ketika melindunginya dari kepungan orang-orang kafir qurais di rumahnya dengan mengaburkan pandangan mata mereka. Dan sesadar beliau atas perlindungan Allah ketika di gua tsur dalam perjalanan hijrahnya.

Saudaraku,
Adakah kita sadar atas perlindungan-perlindungan yang pernah Allah berikan kepada kita sebagaimana sadarnya beliau akan perlindungan-perlindungan-Nya? Masikah kita menafikan tentang indahnya perlindungan Allah ketika kita masih masih kanak-kanak? Di saat ibu, bapak, dan semua manusia tertidur, sementara Allah tak pernah tertidur dan selalu menjaga kita? Dan untuk menjaga kita, Dia juga telah menitipkan rasa cinta dan sayang kepada seorang manusia, yang kita diajarkan untuk memanggilnya ‘ibu’.  Sehingga kalau ada saat-saat dimana kita merindukan detik-detik indah ketika ibu memanjakan kita dengan ciuman lembut cintanya dan pelukan hangat kasih sayangnya, maka ingatlah juga, bahwa itu adalah salah satu di antara saat-saat ketika Allah melindungi kita.

wallahu a'lam bisshawaf

Selasa, 15 Juni 2010

Kepada Lebah, Kita Belajar Tentang Cinta

Oleh : Chairil Musa Bani


Kepada lebah, Allah pernah memberikan sebuah kepercayaan untuk menjadi contoh bagi hamba-hamba-Nya. Tentang bagaimana mengambil sesuatu yang baik, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl 68-69)

Dan adalah ilmu, merupakan sesuatu yang baik yang mungkin tengah kita raih, walupun akhirnya terkadang kita menjadi bingung tentang kenapa ilmu yang kita dapat seolah tidak terlalu mempengaruhi sikap kita untuk bisa menjadi lebih baik dari sebelumnnya. Ya, kita telah berusaha mengambil sesuatu yang baik sebagaimana lebah, tapi kenapa kita belum bisa menghasilkan sesuatu yang baik sebagaimana lebah?.

Jawabannya, ada pada bagaimana lebah mematuhi semua perintah Tuhannya, sebagaimana yang telah tersebut pada QS. An-Nahl 68-69 di atas. Mulai dari dari bagaimana lebah mematuhi tentang dimana dia mesti membuat sarangnya, tentang apa saja yang yang mesti dimakannya dan tentang keharusannya menempuh jalan Tuhannya. Hingga akhirnya Allah pun berfirman “….Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….”

Begitu pula dalam masalah keilmuan, ada serangkaian aturan yang mesti kita tataati sehingga dia bisa di katakan bermaanfaat dan memberikan arti. Dan serangkain aturan itu tergambar dalam sebuah firman-Nya,“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan.”(QS. Ath-Thariq : 5)
Dari ayat di atas kita di perintahkan untuk ‘memperhatikan’ tentang bagaimana penciptaan manusia. Dan makna memperhatikan pada ayat ini tidak hanya sekedar memperhatikan dengan mata (indra)saja. Karena apalah artinya penglihatan yang sesudahnya tidak difikirkan(dengan akal) dan di renungkan (dengan hati) kecuali hanya akan mengantarkan kepada keburukan, ” Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah : 7)

Kalau kita melihat pengertian dari ayat di atas, setidaknya ada tiga unsur yang mesti kita gunakan dalam menuntut ilmu sehingga ia bisa dikatakan bermanfaat, yaitu : indra, akal, dan hati.

Yang pertama indra,
Setuju atau tidak setuju, ternyata kita semua harus sepakat bahwa indra merupakan perangkat pertama yang kita butuhkan ketika kita hendak menuntut ilmu. Minimal, kita membutuhkan satu indra yang berfungsi dengan baik. Kalau kita adalah orang yang tuli, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu melalui indra penglihatan (mata), mungkin dengan membaca buku atau dengan membaca bahasa isyarat. seandainya kita adalah orang yang buta, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu dengan mendengar.Dan jika ternyata kita adalah orang buta dan juga tuli, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu melalui indra peraba, mungkin dengan membaca huruf braile. Tapi ketika semua indra ini tidak berfunsi maka dengan apa lagi kita bisa mendapatkan ilmu? Kecuali Allah memang benar2 berkendak memberikan ilmu tanpa melaui perantara indra (keajaiban).

Yang kedua Akal,
Setelah ilmu bisa masuk melaui pintu pertamanya(indra) maka ia akan mampir di ruangan pertamanya(akal), untuk diproses menjadi sebuah pemahaman. dan peran akal ini tak kalah penting sebagaimana indra. Karena tanpa melaui proses pada ruangan pertamanya, ia tidak akan bisa berlanjut pada ruang selanjutnya(hati) dan kalo saja akal kita ini tidak sempurna, maka mungkin kita lebih pantas dan layak dipanggil orang gila.

Yang terakhir Hati,
Kalau saja setiap orang mau melajutkan proses dari perjalanan ilmu yang ia dapatkan sampai kepada ruangan terakhir ini(hati) untuk diproses menjadi sebuah perenungan. Mungkin tidak akan ada orang2 pintar yang dengan kepintarannya justru dia mengambil hak-hak yang memang bukan miliknya(koruptor). Dan tidak akan ada lagi orang-orang yang mengaku pandai dengan ilmunya, berkata ketus dengan ucapanya yang menbid’ah dan menyesatkan saudaranya, atau menatap sinis saudaranya yang dalam pandangannya, shalat dan ibadah mereka tidak sesuai dengan Sunnah Nabi SAW(walau pun hal itu sebenarnya masih bisa didiskusikan).

Karena ketika ilmu telah sampai ke hati, maka setiap ucapannya, tatapannya dan tingkah lakunya semuanya berangkat dari hati. Dan tidaklah sesuatu yang berangkat dari hati kecuali itu indah. Karena ucapan yang berangkat dari hati adalah tutur kata yang santun, tatapan yang bermula dari hati adalah pandangan yang memancarkan kasih sayang, dan tingkah laku yang berasal dari hati adalah perilaku yang menebarkan kebaikan dan manfaat bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Tak ubah layaknya seperti lebah, “….Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….”

Dan akhirnya.. kepada lebah kita belajar tentang arti sebuah ketaatan, kepadanya pula kita belajar tentang bagaimana mencintai sesama dengan berbagi dan darinya pula, kita pun jadi terpikir untuk memaksimal kinerja hati : dengan merenungi penciptaan-Nya  dan belajar mencintai semua makhluk-Nya

Senin, 14 Juni 2010

Narasi Muhammad

Oleh : Anis Matta Lc


“Aku bisa berdoa kepada Allah untuk menyebuhkan butamu dan mengembalikan penglihatanmu. Tapi jika kamu bisa bersabar dalam kebutaan itu, kamu akan masuk syurga. Kamu pilih yang mana?”

Itu dialog Nabi Muhammad dengan seorang wanita buta yang datang mengadukan kebutaannya kepada Beliau, dan meminta didoakan agar Allah mengembalikan penglihataannya. Dialog yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas itu berujung dengan pilihan yang begitu mengharukan, “saya akan bersabar, dan berdoalah agar Allah tidak mengembalikan penglihatanku”.

Beliau juga bisa menyembuhkan seperti Nabi Isa, tapi beliau menwarkan pilihan lain: bersabar. Sebab kesabaran adalah karakter inti yang memungkinkan kita survive dan bertahan melalui rintangan kehidupan. Kesabaran adalah karakter orang kuat. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa dengan melihat, wanita itu bisa melakukan lebih banyak amal shalih yang bisa mengantarkannya ke syurga. Tapi di sini, kesabaran itu adalah jalan pintas ke syurga. Selain itu, penglihatan adalah fasilitas yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, karena fasilitas berbanding lurus dengan beban dan pertanggungjawaban. Ada manusia, kata ibnu taimiyah, lebih bisa lulus dalam ujian kesulitan yang alatnya sabar ketimbang ujian kebaikan yang alatnya adalah syukur.

Nabi Muhammad juga berperang seperti nabi Musa. Bahkan malaikat jibrilpun pernah meminta beliau menyetujui untuk menghancurkan thoif. Tapi beliau menolaknya sembari mengucurkan darah dari kakinya beliau malah bali berdo’a, “Saya berharap semoga Allah melahirkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang menyembah Allah”

Muhammad bisa menyembuhkan seperti isa, juga bisa membelah laut seperti Musa. Bahkan bulan pun bisa dibelahnya. Muhammad punya dua jenis kekuatan itu: soft power dan hard power. Muhammad mempunyai semua kekuatan yang pernah diberikan kepada seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya. Tetapi beliau selalu menghindari semua penggunaannya sebagai alat untuk meyakinkan orang kepada agama yang dibawannya. Beliau memilih kata. Beliau memilih narasi, karena itu mukjizatnya adalah kata: Al-Qur’an. Karena itu sabdanya di atas semua kata yang mungkin diciptakan oleh manusia.

Itu karena narasi bisa menembus tembok penglihatan manusia menuju pusat eksistensi dan jantung kehidupannya: akal dan hatinya. Jauh lebih dalam daripada apa yang mungkin dirasakan manusia yang kaget terbelalak seketika saat menyaksikan laut terbelah, atau saat menyaksikan orang buta melihat kembali.

Senin, 07 Juni 2010

Wanita Yang Allah Kenal

Oleh : Chairil Musa Bani


Pada dasarnya wanita diciptakan sebagai makhluk yang pemalu. Dan dari dasar penciptaan-Nya ini Allah ternyata telah menetapakan satu ketentuan agama yang sangat cocok untuk makhluknya yang pemalu ini. Yaitu perintah untuk menutup aurat(berhijab). Kalau saja setiap wanita tetap berada pada fitrah penciptaannya, mungkin perintah ini, tidak lagi diartikan sebagai sebuah perintah yang dibebankan kepadanya. Tapi lebih kepada sebuah pertolongan yang selalu bisa menenangkannya.

Dan dalam sebuah kesempatan, Allah swt pernah bercerita tentang makhluknya yang pemalu ini dalam QS. Al-Qashash [28]: 23-24. "Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternaknya, dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambatnya.
Musa berkata 'Apakah maksudmu dengan berbuat begitu?'
Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami adalah orang tua yang sudah lanjut umurnya.'
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya."
Perhatikanlah! bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakkan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya.

Tidak hanya sampai disitu kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut, lihatlah bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil Musa 'Alaihissalam; dalam kelanjutan QS. Al-Qashash [28]:25,

"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan penuh rasa malu, ia berkata, 'Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami."

Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq dan bersifat malu. Allah menyifati wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiallahu 'anhu mengatakan terkait ayat diatas: "Gadis itu menemui Musa 'alaihissalam dengan pakaian yang tertutup rapat." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/360)

Betapapun mungkin telah banyak wanita yang memisah diri dari barisan fitrah yang telah Allah gariskan, tapi tetap saja, hubungan antara keindahan dan si pemalu ini tak pernah terpisahkan dari cerita-cerita yang pernah Allah kisahkan. Mungkin seperti hubungan antara wanita pemalu yang bernama maryam, dengan kesucian. sebagaimana yang pernah Allah ceritakan dalam sebuah surat yang diambil dari dari sebuah nama seorang wanita yang pemalu (surah Maryam).

Dan itulah kenapa dalam sebuah firman-Nya, Allah seolah mengakui betul kerberadaan si pemalu ini, yaitu ketika Dia tengah berjanji akan pendamping hidup para penghuni syurga.
“Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari”.(QS. Ad-Dukhaan:54)
Kalau sekilas kita melihat ayat yang telah di sampaikan diatas, mungkin kita akan mendapatkan seolah Allah justru meniadakan keberadaan wanita. Tapi padahal sebenarnya, Allah justru sangat mengakui keberadaannya. Karena dalam fitrah manusia, kita telah sama-sama mengetahui bahwa laki-laki adalah pihak yang berani secara terang-terangan menyatakan ketertarikan kepada wanita, sementara wanita? Adalah pihak yang cenderung takut dan malu-malu dalam menyatakan ketertarikannya terhadap laki-laki. sehingga terbayanglah oleh kita tentang merah semunya wajah seorang wanita ketika kita tengah berbicara tentang laki-laki yang dicintainya, terlebih-lebih untuk sebuah iming-iming laki-laki syurga yang memang sangat pantas dan patut untuk diridukannya. dan sekali lagi, ini bukanlah soal tentang wanita yang tidak akan mendapatkan pendamping hidup di syurga, karena toh pada akhirnya setiap penghuni syurga itu akan memiliki pasangannya masing-masing. tapi ini tentang seharusmya menjadi seorang wanita diatas muka bumi
Demikianlah sekilas tentang gambaran wanita yang Allah kenal, wanita yang Allah jadikan suri tauladan bagi seluruh wanita yang ada, dan wanita yang dianggap keberadaannya ketika Dia berbicara tentang syurga-Nya.
Wanita yang Allah kenal itu, adalah wanita yang memiliki rasa malu.
wallahu a'lam bishawaf

Selasa, 01 Juni 2010

Biografi Al-Imam Al-Bukhari

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an. Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi.

Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari. Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gabenor Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.

Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam. Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, ‘Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya. Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.

Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.Beliau
juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari -red)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.

Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) kepada beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud: Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.

Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran. Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.


Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain)”.

Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.

Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, lebih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”

Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Sumber iLuvislam