Selasa, 13 Juli 2010

Separuh malam terindah, antara Nabi dengan Tuhannya

By : chairil musa bani

Siapa di dunia ini orang yang tak pernah merasa sakit hati, kecewa dan marah karena perilaku buruk atau penghianatan orang lain? saya yakin, kita semua pernah mengalami satu kondisi yang memaksa kita untuk kecewa dan menangis karena perlakuan buruk atau penghiatan seorang teman yang kita mengenalinya sebagai rekan kerja, istri/suami atau kekasih.

Dan dari berbagai penghianatan itupun lahir berbagai macam sikap ; ada yang hanya bisa menangis, ada juga yang bersumpah serapah, dan ada juga yang berfikir untuk membelas keburukan itu dengan keburukan lagi. Dan bahkan ada orang yang sampai mengakhiri hidupnya hanya karena sebuah alasan, ia tak mampu menahan kesedihan karena kekasihnya telah menghianati.

Kalau saja kita mau mengikut sertakan Allah dalam setiap permasalahan yang tengah kita alami tersebut, mungkin akan lain ceritanya dan mungkin akan indah pada akhirnya. Seperti indahnya separuh malam yang pernah Nabi saw habiskan dalam perjalanan menemui Tuhan-Nya (isra’ mi’raj). Kok bisa? Begini ceritanya…

Dulu, selepas kepergian paman dan istri tercintannya. Kecaman, cacian dan penganiayaan kepada beliau saw semakin menjadi-jadi. tak ada lagi yang membela, menjaga dan menjadi pelipur lara. Makkah seolah tak memberi harapan baik bagi dakwah yang telah mati-matian ia perjuangkan. Tapi sesempit apapun saluran dakwah, aliran kebaikan harus tetap mengalir. Maka, Ketika makkah terlalu sempit baginya. beliau saw pun mencoba mengadu nasib agama kita ini ke sebuah negeri yang disana terdapat banyak orang-orang pandai (Thaif). Disana, Beliau tinggal selama 10 hari. Beliau berdakwah dari rumah kerumah, ke pasar-pasar dan ke jalan-jalan. Namun tidak ada seorangpun yang beriman.

Dan ketika hendak meninggalkan tha’if. Beliau saw berdiri dihadapan penduduk Tha’if, beliau mengutarakan harapan agar orang-orang merahasiakan kunjungannya ke tha’if agar kecaman dan permusuhan orang-orang makkah terhadap islam tidak semakin meningkat. Dan ternyata bukan hanya sekedar menolak permintaan terakhir nabi saw, tapi mereka juga menimpukinya dengan batu hingga kaki beliau mengeluarkan darah.

Dan di sebuah kembun anggur milik penduduk setempat, diantara sengal nafas dan lukanya, terekam sebuah do’a,
"Ya Allah, aku mengadukan kepada-MU akan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Yang Maha Rahim dari sekalian rahimin. Engkaulah Tuhannya orang2 yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapakah Engkau serahkan diriku. Kepada musuh yang menghinaku ataukah kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal saja aku tetap dalam keridhaan-Mu. Dalam pada itu afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu Yang Mulia yang menyinari seluruh langit dan menerangi semua yang gelap dan atasnyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat, dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahan-Mu atau dari Engkau turun atasku adzab-Mu. Kepada Engkaulah aku mengadukan urusanku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan melalui Engkau."

Al-habib Ali al Jufri dalam sebuah kesempatannya pernah berkomentar mengenai doa ini, beliau bilang “apabila kita ditimpa satu masalah yang besar dan apabila orang lain/ musuh musuh telah sangat menindas kita. Maka kita memerlukan dua adab yang hebat bersama Allah swt, dan dua adab ini telah terdapat dalam pribadi nabi Muhammad saw; Adab yang pertama adalah pengaduan kepada Allah swt, bukan kepada makhluk. Menanti bantuan, sokongan serta pertolongan itu bukanlah dari manusia, mereka tidak memberikan faedah maupun kemudharatan, baik dari timur maupun dari barat, tetapi hanya dari Allah saja,sebagaimana di awal doa beliau berkata, ‘Ya Allah, aku mengadukan kepada-MU….’. dan adab yang kedua,ada dalam kelanjutan doa tadi, ‘Ya Allah, aku mengadukan kepada-MU akan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia…..’. ya, ternyata beliau saw tidak mengadukan kepada Allah tentang kebencian mereka,kekufuran mereka,cercaan dan penindasan mereka. Tapi yang beliau adukan adalah kelemahannya”

Ternyata, beliau mengadu kepada Allah tentang dirinya sendiri bukan tentang orang lain, beliau saw mengadu tentang kelemahan dirinya sendiri bukan kelemahan (perlakuan buruk) orang lain. mungkin beliau hendak mengajarkan kepada kita tentang sebuah terapi yang bisa menjadi penawar dari rasa sakit hati yang mungkin berkepanjangan, yaitu dengan tidak perlunya kita mengingat atau menyebut-nyebut perlakuan buruk orang lain. karena pada akhirnya, ingatan kita atas pelakuan buruk orang lain, hanya akan mengantarkan kita pada sakit hati dan dendam yang berkepanjangan saja. Dan kalaupun ada hal yang perlu kita ingat adalah kelemahan kita. Mungkin tentang kelemahan kita yang mudah dan gampang tersinggug atau sakit hati karena perilaku buruk orang lain. atau tentang kita yang masih belum pandai memberikan maaf atas kesalahan dan kekhilafan orang lain.

Saya pun jadi teringat akan sebuah nasihat seorang ulama, “ketika kita berbuat baik, mungkin akan ada saja orang yang membenci kita dan menganggap bahwa apa yang kita lakukan itu sia-sia dan tak berguna. Tapi, tetaplah berbuat baik. Dan ketika kita mencoba untuk jujur, mungkin akan ada saja orang-orang yang mendustakan kita dan tidak mempercayai kita. Tapi, tetaplah kita jujur. Karena inti permasalahannya bukan antara kita dengan mereka. Tapi ada antara kita dengan Tuhan kita”.
Ya, mungkin ini adalah makna dari apa yang rasululullah saw maksud. Bahwa inti setiap permasalahan ada antara kita dengan tuhan kita. karena pada akhirnya, hanya Allah yang mampu menghargai kebaikan dan kejujuran kita dengan sebentuk penghargaan yang tak pernah bisa kita menghargainya(pahala).

Dan adalah rasulullah saw, merupakan sosok orang yang benar-benar telah memaknai hubungan kedekatan ini. Tapi, bukanlah pahala yang diharapnya, dan bukan pula kemuliaan yang di dambakannya. Tapi hanya keridhaan-Nya yang diharapkannya, sebagaimana doa beliau ketika di thaif
“…kepada siapakah Engkau serahkan diriku. Kepada musuh yang menghinaku ataukah kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal saja aku tetap dalam keridhaan-Mu…..”

Begitulah pribadi rasulullah saw, hanya Allah yang ia hadirkan dalam setiap langkah kehidupannya. Dan hanya Allah yang yang mampu membuat bersedih dan Cuma Allah mampu membuatnya khawatir. Sehingga adalah wajar jika setelah kejadian di thaif itu menjadi puncak dari serangkain penderitaan yang pada akhirnya menyampaikan beliau pada satu kemulian, yaitu dengan di isra’ dan di mi’rajkannya beliau saw oleh Allah swt. Dan sangatlah pantas jika mukjizat isra’ mi’raj nabi dikatakan bertujuan untuk memuliakan nabi Muhammad saw secara pribadi. Karena meskipun ada beberapa nabi yang di angkat Allah ke langit, seperti Nabi Idris dan Isa a.s, tapi pengangkatan mereka adalah penyelamatan dari tindak pembunuhan dan penyaliban. Dan mukjizat para nabi yang berupa pengangkatan ke langit biasanya adalah akhir dari segala aktivitas dakwah mereka di muka bumi. Tapi tidak dengan nabi Muhammad saw

Dan adalah juga sangat wajar jika dalam perjalanan isra’ mi’raj-nya, jibril hanya bisa menemaninya sampai sidratul muntaha dan tidak bisa menemaninya sampai ke mustawa. Mungkin Allah hanya ingin berjumpa dengan Nabi-Nya saja, Allah hanya ingin bercakap-cakap langsung dengan nabi-Nya saja sebagaimana beliau telah memaknai semua hubungan hanya terhadap Allah saja.

Di tengah riak-riak duka dan kecewa atas perlakuan buruk orang lain, kita memang tak pernah bisa memuarakan semua kesedihan itu pada separuh malam terindah sebagaimanan malam yang pernah Nabi habiskan Tuhannya (isra’ Mi’raj). Tapi paling tidak, Allah masih sangat berbaik hati terhadap kita dengan menyediakan satu waktu bagi kita untuk menghabiskan waktu hanya bersama-Nya pada sepertiga malam-Nya(tahajud).

Dan adakah duka serta kesedihan kita mampu menghantarkan kita untuk berjumpa dengan Allah di sepertiga malamnya(Tahajud) sebagaimana Allah pernah mengatarkan Nabi-Nya pada separuh malam terindah-Nya? jawabannya, ada pada bagaimana kita kita memaknai bahwa inti dari setiap permasalahan yang ada, itu ada di antara kita dengan Allah saja. Sebagaimana Beliau saw memaknai semua hubungan hanya terhadap Allah saja. Karena pada akhirnya, itulah yang mengantarkan beliau saw pada separuh malam terindah, antara Nabi dengan Tuhan-Nya.

wallahu a'lam bisshawaf

Kamis, 08 Juli 2010

Aku ikut mauMu Tuhan

 By : chairil musa bani


“Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku tidak akan menentang perintah-Nya. Dan Allah tidak akan pernah menelantarkan diriku”

Hanya itu penjelasan yang bisa rasulullah sampaikan kepada para sahabat yang merasa tidak mengerti akan keputusan rasulullah yang menyapakati akan perjanjian damai dengan kafir quraisy (perjanjian hudaibiyah). Ya, Sebuah perjanjian damai yang menurut mereka hanya akan merugikan kaum muslimin. Sebuah perjanjian yang mengharuskan mereka pulang kembali pulang ke madinah sebelum bisa memasuki baitul haram (Makkah), sebuah perjanjian yang dalam salah satu poinnya di sebutkan “ jika salah seorang kafir memeluk islam, dia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Tapi apabila seorang muslim murtad dan kembali kafir, maka dia berhak mendapat perlindungan dari kaum kafir Quraisy”.

Adalah rasulullah ketika itu pun tak bisa memahami apa maksud kemauan Allah sehingga memerintahkannya untuk menyepakati perjanjian damai itu. Tapi, sesulit apapun beliau memahami akan kemauan Tuhannya, ada satu hal yang sangat beliau pahami dari Tuhannya, bahwa Dia tidak akan pernah menelantarkan dirinya, ketika beliau saw mentaati perintah-Nya.
Dan ternyata benar saja, bahwa perjanjian damai itulah yang justru mengantarkan islam kepada kemenangan, yang menghantarkan Rasulullah saw dan umat islam bisa memasuki makkah dengan kebebasan dan mampu membebaskan baitul haram dari berhala-berhala dan pengaruhnya (Futhu Makkah). Betapapun tidak, karena dengan perjanjian damai itu, golongan yahudi di semenanjung arab tidak bisa lagi memanfaatkan perselisihan antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy. Sehingga dengan itu pula umat islam bisa berkonsentrasi untuk menghancurkan duri-duri islam (yahudi), karena ketika itu orang-orang yahudi tidak pernah berhenti melakukan pernghianatan dan rekayasa terhadap islam.

Begitulah Allah, terkadang takdir-takdir-Nya sulit kita pahami. Tapi sesulit apapun kita memahaminya, Dia tidak pernah bermaksud jahat terhadap hamba-hambanya. Sesulit kita mencari rejeki diantara kais-kaisnya, mungkin Dia hendak mengajarkan kepada kita tentang betapa beratinya sesuatu yang justru orang menganggapnya tak bernilai. Dan kalau untuk hal yang tak bernilai saja kita telah dibuat-Nya bahagia, apatah lagi untuk hal-hal yang memang memiliki arti dan nilai.
Dan sesulit kita menerka tentang dimana keberadaan, bagaimana keadaan dan kapan waktu perjumpaan kita dengan pendamping hidup yang selama ini kita rindukan, mungkin Allah hendak mengajarkan tentang arti kerinduan seorang calon ibu yang menanti detik-detik kelahiran anak. Ya sebuah kerinduan yang tak di dahului oleh kebaikan sang anak tapi justru berakhir dengan pengorbanan dan penghormatan untuk sang ibu. Sehingga pada akhirnya, seperti juga ibu yang menganggap anak yang di nantinya adalah karunia, maka seperti itu pula kita menganggap pasangan yang kita nanti saat ini adalah juga karunia

Tapi entah kenapa kita masih saja menyangka bahwa Allah kejam ketika Dia menentukan satu takdir yang telah memaksa kita untuk menangis, satu ketetapan yang memaksa kita menjadi sendiri dan seolah tak punya arti? Kenapa? Masikah kita tidak mempercayainya bahwa Dia adalah Tuhan yang Maha Pengasih? Tuhan Yang Maha Penyayang? DanTuhan Yang Maha Bijaksana atas setiap keputusan-Nya? dan apakah Firman-Nya tidak cukup meyakinkan kita bahwa dia maha pengasih, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana, padahal Dia sudah kelapkali mengulang kata-kata itu (Ar-Rahman, Ar-Rahim dan Al-Hakim) dalam Al-Qur’an?

Ataukah kita masih merasa bahwa rencana kita lebih baik dari rencana Allah? dan belum bisa untuk sejenak bersabar menanti detik-detik saat Allah menyibak hikmah dalam takdir yang masih kita sulit memahaminya?

Dan masihkan kita merasa kecewa ketika Allah kembali coba meyakinkan kita melalui firman-Nya,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahu

Entah, dengan kata-kata apa saya harus menyimpulkan tulisan ini. Sejujurnya saya bingung, tentang apa yang mesti saya katakan lagi. Karena tulisan ini, seolah jadi bomerang atas sikap saya ketika menyikapi ketetapan-Nya yang sulit saya pahami saat-saat ini. Karena terkadang saya masih merasa bersedih dan seolah tak bisa menerima atas ketentuan-Nya ini. Walaupun air mata ini tak menetes, tapi air mata yang hanya mengembang di tepian kelopaknya tetap saja mengganggu pandangan, sehingga terkadang itu memaksa saya untuk mengusapnya.

Dan tak ada yang bisa saya lakukan kecuali saya harus menyerah dan ikut kemauan-Nya. seraya tetap belajar meyakini bahwa ketetapan-Nya adalah baik. karena Dia tetap Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dan tak ada kata-kata yang bisa saya sampaikan setelah ini kecuali hanya sebuah doa,
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami… “ (Al-Baqarah : 286)

Kamis, 01 Juli 2010

Puncak Iman

Oleh : Anis Matta Lc
Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.

Iman itu laut, cintalah ombaknya. Iman itu api, cintalah panasnya. Iamn itu angin, cintalah badainya. Iman itu salju, cintalah dinginnya. Iman itu sungai, cintalah arusnya.

Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiaanya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil, dari Ishak bin Ibrahim dari Raja' bin Amr Al Nakha'i. Seorang pemuda Kufa yang terkenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis iru sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya, "Aku datang padamu, atau kuantar cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku". Itu jelas jalan syahwat.

"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?" Gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang menggelora dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. Ia mati, akhirnya.

Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan doa-doanya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku," tanya sang gadis. "Baik-baik saja. Kamu sendiri disana bagaimana," jawabnya sambil balik bertanya. "Aku disini, dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir," jawab gadisnya. "Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu," tanya sang pemuda lagi. "Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa kepada Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.

Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.