Selasa, 15 Juni 2010

Kepada Lebah, Kita Belajar Tentang Cinta

Oleh : Chairil Musa Bani


Kepada lebah, Allah pernah memberikan sebuah kepercayaan untuk menjadi contoh bagi hamba-hamba-Nya. Tentang bagaimana mengambil sesuatu yang baik, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl 68-69)

Dan adalah ilmu, merupakan sesuatu yang baik yang mungkin tengah kita raih, walupun akhirnya terkadang kita menjadi bingung tentang kenapa ilmu yang kita dapat seolah tidak terlalu mempengaruhi sikap kita untuk bisa menjadi lebih baik dari sebelumnnya. Ya, kita telah berusaha mengambil sesuatu yang baik sebagaimana lebah, tapi kenapa kita belum bisa menghasilkan sesuatu yang baik sebagaimana lebah?.

Jawabannya, ada pada bagaimana lebah mematuhi semua perintah Tuhannya, sebagaimana yang telah tersebut pada QS. An-Nahl 68-69 di atas. Mulai dari dari bagaimana lebah mematuhi tentang dimana dia mesti membuat sarangnya, tentang apa saja yang yang mesti dimakannya dan tentang keharusannya menempuh jalan Tuhannya. Hingga akhirnya Allah pun berfirman “….Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….”

Begitu pula dalam masalah keilmuan, ada serangkaian aturan yang mesti kita tataati sehingga dia bisa di katakan bermaanfaat dan memberikan arti. Dan serangkain aturan itu tergambar dalam sebuah firman-Nya,“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan.”(QS. Ath-Thariq : 5)
Dari ayat di atas kita di perintahkan untuk ‘memperhatikan’ tentang bagaimana penciptaan manusia. Dan makna memperhatikan pada ayat ini tidak hanya sekedar memperhatikan dengan mata (indra)saja. Karena apalah artinya penglihatan yang sesudahnya tidak difikirkan(dengan akal) dan di renungkan (dengan hati) kecuali hanya akan mengantarkan kepada keburukan, ” Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah : 7)

Kalau kita melihat pengertian dari ayat di atas, setidaknya ada tiga unsur yang mesti kita gunakan dalam menuntut ilmu sehingga ia bisa dikatakan bermanfaat, yaitu : indra, akal, dan hati.

Yang pertama indra,
Setuju atau tidak setuju, ternyata kita semua harus sepakat bahwa indra merupakan perangkat pertama yang kita butuhkan ketika kita hendak menuntut ilmu. Minimal, kita membutuhkan satu indra yang berfungsi dengan baik. Kalau kita adalah orang yang tuli, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu melalui indra penglihatan (mata), mungkin dengan membaca buku atau dengan membaca bahasa isyarat. seandainya kita adalah orang yang buta, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu dengan mendengar.Dan jika ternyata kita adalah orang buta dan juga tuli, maka kita masih bisa mendapatkan ilmu melalui indra peraba, mungkin dengan membaca huruf braile. Tapi ketika semua indra ini tidak berfunsi maka dengan apa lagi kita bisa mendapatkan ilmu? Kecuali Allah memang benar2 berkendak memberikan ilmu tanpa melaui perantara indra (keajaiban).

Yang kedua Akal,
Setelah ilmu bisa masuk melaui pintu pertamanya(indra) maka ia akan mampir di ruangan pertamanya(akal), untuk diproses menjadi sebuah pemahaman. dan peran akal ini tak kalah penting sebagaimana indra. Karena tanpa melaui proses pada ruangan pertamanya, ia tidak akan bisa berlanjut pada ruang selanjutnya(hati) dan kalo saja akal kita ini tidak sempurna, maka mungkin kita lebih pantas dan layak dipanggil orang gila.

Yang terakhir Hati,
Kalau saja setiap orang mau melajutkan proses dari perjalanan ilmu yang ia dapatkan sampai kepada ruangan terakhir ini(hati) untuk diproses menjadi sebuah perenungan. Mungkin tidak akan ada orang2 pintar yang dengan kepintarannya justru dia mengambil hak-hak yang memang bukan miliknya(koruptor). Dan tidak akan ada lagi orang-orang yang mengaku pandai dengan ilmunya, berkata ketus dengan ucapanya yang menbid’ah dan menyesatkan saudaranya, atau menatap sinis saudaranya yang dalam pandangannya, shalat dan ibadah mereka tidak sesuai dengan Sunnah Nabi SAW(walau pun hal itu sebenarnya masih bisa didiskusikan).

Karena ketika ilmu telah sampai ke hati, maka setiap ucapannya, tatapannya dan tingkah lakunya semuanya berangkat dari hati. Dan tidaklah sesuatu yang berangkat dari hati kecuali itu indah. Karena ucapan yang berangkat dari hati adalah tutur kata yang santun, tatapan yang bermula dari hati adalah pandangan yang memancarkan kasih sayang, dan tingkah laku yang berasal dari hati adalah perilaku yang menebarkan kebaikan dan manfaat bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Tak ubah layaknya seperti lebah, “….Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….”

Dan akhirnya.. kepada lebah kita belajar tentang arti sebuah ketaatan, kepadanya pula kita belajar tentang bagaimana mencintai sesama dengan berbagi dan darinya pula, kita pun jadi terpikir untuk memaksimal kinerja hati : dengan merenungi penciptaan-Nya  dan belajar mencintai semua makhluk-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar